Saat Inggris Menjadi Musuh Zionisme
Pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina yang dituangkan dalam White
Paper 1939, ternyata membuat Organisasi Zionis berang. Akibatnya, para
pemimpin Zionis berkumpul di New York pada 1942 tepatnya di Hotel
Biltmore. Saat itulah secara resmi para pemimpin Zionis menetapkan
Palestina sebagai wilayah Persemakmuran Yahudi. Selain itu para pemimpin
Yahudi kini menganggap Inggris sebagai musuh yang harus diperangi.
KOMPAS. com - Status Inggris yang pernah menjadi 'harapan' bangsa Yahudi saat menerbitkan Deklarasi Balfour 1917
seketika berubah. Berbagai kelompok bersenjata Yahudi seperti Haganah,
Irgun dan Lehi yang awalnya bersaing kini bersatu dengan tujuan sama
yaitu mendongkel kekuasaan Inggris di Mandat Palestina.
Kelompok-kelompok bersenjata ini tak jarang melakukan aksi terorisme
seperti pembunuhan dan penculikan para petinggi Inggris hingga
meledakkan kereta api milik Inggris. Salah satu insiden yang patut
dicatat adalah pembunuhan Menteri Negara Urusan Timur Tengah, Lord Moyne
pada 6 November 1944 di Kairo, Mesir, oleh dua anggota gerakan bawah
tanah Yahudi, Eliyahu Bet-Zuri dan Eliyahu Hakim.
Lord Moyne
dikenal sebagai salah seorang pejabat Inggris yang sangat anti-Zionis
dan sangat memegang teguh aturan pembatasan imigrasi Yahudi ke Palestina
seperti diatur dalam dokumen White Paper 1939.
Namun,
pembunuhan Lord Moyne itu tidak mengubah kebijakan Inggris di Palestina.
Justru, aksi itu malah berdampak buruk bagi gerakan Zionisme. Sebab,
Lord Moyne adalah sahabat dekat Perdana Menteri Inggris saat itu Winston
Churchill. Akibatnya, Churchill mempertimbangkan kembali dukungan
Inggris terhadap Zionisme. Sementara itu, Inggris berhasil menangkap
kedua pembunuh Lord Moyne dan keduanya dihukum gantung pada 1945.
Mandat Inggris Berakhir
Saat Inggris Menjadi Musuh Zionisme
Sementara itu, di Eropa, Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan
Jerman. Salah satu dampaknya adalah masih terdapat 250.000 orang Yahudi
tersebar di berbagai kamp konsentrasi milik Jerman. Dan, para pemimpin
Zionis ingin membawa rekan-rekan sebangsanya itu ke Palestina.
Masalahnya, Inggris masih membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina sesuai
mandat White Paper 1939.
Situasi ini membuat perlawanan
kelompok-kelompok bersenjata Yahudi di Palestina semakin keras dan
semakin menebar teror. Mereka mengebom kereta api, stasiun kereta api
bahkan markas militer Inggris di Hotel King David di Jerusalem pada 22
Juli 1946. Aksi teror yang dilakukan kelompok sayap kanan Zionis, Irgun
ini menewaskan 91 orang dan 46 orang lainnya terluka.
Kondisi
yang semakin buruk di Mandat Palestina ini menjadi berita utama berbagai
koran di Inggris. Akibatnya, para politisi mendesak pemerintah Inggris
untuk segera mengatasi konflik di Palestina untuk menyelamatkan nyawa
warga dan pasukan Inggris di Palestina.
Desakan terhadap
Inggris juga datang dari Amerika Serikat dan sejumlah negara yang
meminta Inggris segera membuka keran imigrasi Yahudi yang selama ini
ditutup. Berbagai investigasi pun digelar untuk memastikan kondisi
sebenarnya di Palestina. Akhirnya sebuah Komite Gabungan Inggris-AS
bentukan PBB pada 20 April 1946 merekomendasikan imigrasi 100.000 orang
Yahudi bisa dilakukan sesegera mungkin ke Palestina.
Rekomendasi ini ditolak para pemimpin Arab dan Inggris segera menyadari
mereka tak mampu lagi mengatasi keadaan di Palestina. Akhirnya Inggris
mengembalikan mandat mengelola Palestina yang mereka pegang sejak 1920
kepada PBB terhitung 14 Mei 1948. Inilah yang kemudian berujung pada
berdirinya Negara Israel. ((bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar